Rabu, 17 Desember 2008

perbanyakan vegetatif dengan stek

Perbanyakan Vegetatif dengan Stek

Tinjauan Umum

Stek merupakan cara perbanyakan tanaman secara vegetatif buatan dengan

menggunakan sebagian batang, akar, atau daun tanaman untuk ditumbuhkan

menjadi tanaman baru. Sebagai alternarif perbanyakan vegetatif buatan, stek

lebih ekonomis, lebih mudah, tidak memerlukan keterampilan khusus dan cepat

dibandingkan dengan cara perbanyakan vegetatif buatan lainnya. Cara

perbanyakan dengan metode stek akan kurang menguntungkan jika bertemu

dengan kondisi tanaman yang sukar berakar, akar yang baru terbentuk tidak tahan

stress lingkungan dan adanya sifat plagiotrop tanaman yang masih bertahan.

Keberhasilan perbanyakan dengan cara stek ditandai oleh terjadinya

regenerasi akar dan pucuk pada bahan stek sehingga menjadi tanaman baru yang

true to name dan true to type. Regenerasi akar dan pucuk dipengaruhi oleh faktor

intern yaitu tanaman itu sendiri dan faktor ekstern atau lingkungan. Salah satu

faktor intern yang mempengaruhi regenerasi akar dan pucuk adalah fitohormon

yang berfungsi sebagai zat pengatur tumbuh.

Boulline dan Went (1933) menemukan substansi yang disebut rhizocaline

pada kotiledon, daun dan tunas yang menstimulasi perakaran pada stek. Menurut

Hartmann et al (1997), zat pengatur tumbuh yang paling berperan pada

pengakaran stek adalah Auksin. Auksin yang biasa dikenal yaitu indole-3-acetic

acid (IAA), indolebutyric acid (IBA) dan nepthaleneacetic acid (NAA). IBA dan

NAA bersifat lebih efektif dibandingkan IAA yang meruapakan auksin alami,

sedangkan zat pengatur tumbuh yang paling berperan dalam pembentukan tunas

adalah sitokinin yang terdiri atas zeatin, zeatin riboside, kinetin, isopentenyl

adenin (ZiP), thidiazurron (TBZ), dan benzyladenine (BA atau BAP). Selain

auksin, absisic acid (ABA) juga berperan penting dalam pengakaran stek.

Faktor intern yang paling penting dalam mempengaruhi regenerasi akar

dan pucuk pada stek adalah faktor genetik. Jenis tanaman yang berbeda

mempunyai kemampuan regenerasi akar dan pucuk yang berbeda pula. Untuk

menunjang keberhasilan perbanyakan tanaman dengan cara stek, tanaman sumber

seharusnya mempunyai sifat-sifat unggul serta tidak terserang hama dan/atau

penyakit. Selain itu, manipulasi terhadap kondisi lingkungan dan status fisiologi

tanaman sumber juga penting dilakukan agar tingkat keberhasilan stek tinggi.

Kondisi lingkungan dan status fisiologi yang penting bagi tanaman sumber

diantaranya adalah:

1. Status air. Stek lebih baik diambil pada pagi hari dimana bahan stek dalam

kondisi turgid.

2. Temperatur. Tanaman stek lebih baik ditumbuhkan pada suhu 12°C hingga

27°C.

3. Cahaya. Durasi dan intensitas cahaya yang dibutuhkan tamnaman sumber

tergantung pada jenis tanaman, sehingga tanaman sumber seharusnya

ditumbuhkan pada kondisi cahaya yang tepat.

4. Kandungan karbohidrat. Untuk meningkatkan kandungan karbohidrat bahan

stek yang masih ada pada tanaman sumber bisa dilakukan pengeratan untuk

menghalangi translokasi karbohidrat. Pengeratan juga berfungsi menghalangi

translokasi hormon dan substansi lain yang mungkin penting untuk

pengakaran, sehingga terjadi akumulasi zat-zat tersebut pada bahan stek.

Karbohidrat digunakan dalam pengakaran untuk membangun kompleks

makromolekul, elemen struktural dan sebagai sumber energi. Walaupun

kandungan karbohidrat bahan stek tinggi, tetapi jika rasio C/N rendah maka

inisiasi akar juga akan terhambat karena unsur N berkorelasi negatif dengan

pengakaran stek (Hartmann et al, 1997).

Faktor lingkungan tumbuh stek yang cocok sangat berpengaruh pada

terjadinya regenerasi akar dan pucuk. Lingkungan tumbuh atau media pengakaran

seharusnya kondusif untuk regenerasi akar yaitu cukup lembab, evapotranspirasi

rendah, drainase dan aerasi baik, suhu tidak terlalu dingin atau panas, tidak

terkena cahaya penuh (200-100 W/m2) dan bebas dari hama atau penyakit.

Stek Daun

Bahan awal perbanyakan yang dapat digunakan pada stek daun dapat

berupa lembaran daun atau lembaran daun beserta petiol. Bahan awal pada stek

daun tidak akan menjadi bagian dari tanaman baru. Penggunaan bahan yang

mengandung kimera periklinal dihindari agar tanaman-tanaman baru yang

dihasilkan bersifat true to type (Hartmann et al, 1997).

Akar dan tunas baru pada stek daun berasal dari jaringan meristem primer

atau meristem sekunder. Pada tanaman Bryophyllum, akar dan tunas baru berasal

dari meristem primer pada kumpulan sel-sel tepi daun dewasa, tetapi pada

tanaman Begonia rex, Saint paulia (Avrican violet), Sansevieria, Crassula dan

Lily, akar dan tunas baru berkembang dari meristem sekunder dari hasil pelukaan.

Pada beberapa species seperti Peperomia, akar dan tunas baru muncul dari

jaringan kalus yang terbentuk dari aktivitas meristem sekunder karena pelukaan.

Masalah pada stek daun secara umum adalah pembentukan tunas-tunas adventif,

bukan akar adventif. Pembentukan akar adventif pada daun lebih mudah

dibandingkan pembentukan tunas adventif (Hartmann, et al, 1997).

Secara teknis stek daun dilakukan dengan cara memotong daun dengan

panjang 7,5 – 10 cm (Sansevieria) atau memotong daun beserta petiolnya

kemudian ditanam pada media (Hartmann et al, 1997). Untuk Begonia dan

Violces, perlakuan kimia yang umum dilakukan adalah penyemprotan dengan

IBA 100 ppm.

Stek Umbi

Pada stek umbi, bahan awal untuk perbanyakan berupa umbi, yaitu: umbi

batang, umbi kakr, umbi sisik, dan lain-lain. Senagai bahan perbanyakan, umbi

dapat digunakan utuh atau dipotong-potong dengan syarat setiap potongannya

mengadung calon tunas. Untuk menghindari terjadinya busuk pada setiap

potongan umbi, maka umbi perlu dierandap dalam bakterisida dan fungisida.

Contoh tanaman yang bisa diperbanyak dengan stek umbi antara lain: Solanum

tuberosum, Ipomoea batatas, Caladium, Helianthus tuberosus, Amarilis, dan lainlain.

4

Stek Batang

Bahan awal perbanyakan berupa batang tanaman. Stek batang

dikelompokkan menjadi empat macam berdasarkan jenis batang tanaman, yakni:

berkayu keras, semi berkayu, lunak, dan herbaceous.

Bahan tanaman yang biasa diperbanyak dengan stek batang berkayu keras

antara lain: apel, pear, cemara, dan lain-lain, dengan perlakuan kimia IBA atau

NAA 2500 – 5000 ppm. Panjang stek berkisar antara 10 – 76 cm atau dua buku

(nodes). Stek batang semi berkayu, contohnya terdapat pada tanaman Citrus sp.

dengan perlakuan kimia yang sudah umum yaitu IBA dan NAA 1000 – 3000 ppm

dan panjang stek 7,5 – 15 cm. Pada stek batang semi berkayu ini, daun-daun

seharusnya dibuang untuk mengendalikan transpirasi. Disamping itu, pelukaan

sebelumnya mungkin dapat membantu pengakaran. Untuk stek batang berkayu

lunak, contohnya terdapat pada tanaman Magnolia dengan perlakuan IBA atau

NAA 500 – 1250 ppm dan panjang stek 7,5 – 12,5 cm. Pada stek batang berkayu

lunak ini umumnya akar relatif cepat keluar (2 – 5 minggu).

Stek batang yang tergolong herbaceus, dilakukan pada tanaman

Dieffenbachia, Chrisanthemum, dan Ipomoea batatas. Pada dasarnya perlakuan

auksin tidak pdiperlukan pada stek batang herbaceous ini, tetapi kadang diberikan

IBA atau NAA 500 –1250 ppm dan panjang stek yang biasa digunakan adalah 7,5

– 12,5 cm (Hartmann et al, 1997).

5

Perbanyakan Vegetatif dengan Grafting dan Budding

Tinjauan Umum

Grafting dan Budding merupakan metode perbanyakan vegetatif buatan.

Grafting/penyambungan adalah seni menyambungkan 2 jaringan tanaman hidup

sedemikian rupa sehingga keduanya bergabung dan tumbuh serta berkembang

sebagai satu tanaman gabungan. Teknik apapun yang memenuhi kriteria ini dapat

digolongkan sebagai metode grafting. Sedangkan budding adalah salah satu

bentuk dari grafting, dengan ukuran batang atas tereduksi menjadi hanya terdiri

atas satu mata tunas (Hartmann et al, 1997). Tanaman sebelah atas disebut entris

atau batang atas (scion), sedangkan tanaman batang bawah disebut understam atau

batang bawah (rootstock) (Ashari, 1995). Batang atas berupa potongan pucuk

tanaman yang terdiri atas beberapa tunas dorman yang akan berkembang menjadi

tajuk, sedang batang bawah akan berkembang menjadi sistem perakaran

(Hartmann et al, 1997).

Perbanyakan tanaman dengan cara grafting merupakan teknik perbanyakan

yang mahal karena memerlukan banyak tenaga terlatih dan waktu. Teknik ini

dipilih dengan pertimbangan untuk memperbanyak tanaman yang sukar/tidak

dapat diperbanyak dengan cara stek, perundukan, pemisahan, atau dengan

cangkok. Menurut Ashari (1995), banyak jenis tanaman buah-buahan yang

sukar/tidak dapat diperbanyak dengan cara-cara tersebut, tetapi mudah dilakukan

penyambungan, misalnya pada manggis, mangga, belimbing, jeruk dan durian.

Alasan lain untuk melakukan grafting adalah: (1) memperoleh keuntungan

dari batang bawah tertentu, seperti perakaran kuat, toleran terhadap lingkungan

tertentu, (2) mengubah kultivar dari tanaman yang telah berproduksi, yang disebut

top working, (3) mempercepat kematangan reproduktif dan produksi buah lebih

awal, (4) mempercepat pertumbuhan tanaman dan mengurangi waktu produksi,

(5) mendapatkan bentuk pertumbuhan tanaman khusus dan (6) memperbaiki

kerusakan pada tanaman (Hartmann et al, 1997). Aplikasi grafting juga dapat

dilakukan untuk membuat satu tanaman dengan jenis yang berbeda-beda, untuk

6

mengatasi masalah polinasi, dalam kasus self-incompability atau tanaman

berumah dua (Ashari,1995).

Proses Pertautan Sambungan

Proses pertauatan sambungan diawali dengan terbentuknya lapisan

nekrotik pada permukaan sambungan yang membantu menyatukan jaringan

sambungan terutama di dekat berkas vaskular. Pemulihan luka dilakukan oleh selsel

meristematik yang terbentuk antara jaringan yang tidak terluka dengan lapisan

nekrotik. Lapisan nekrotik ini kemudian menghilang dan digantikan oleh kalus

yang dihasilkan oleh sel-sel parenkim (Hartmann et al, 1997). Menurut Ashari

(1995) sel-sel parenkim batang atas dan batang bawah masing-masing

mengadakan kontak langsung, saling menyatu dan membaur. Sel parenkim

tertentu mengadakan diferensiasi membentuk kambium sebagai kelanjutan dari

kambium batang atas dan batang bawah yang lama. Pada akhirnya terbentuk

jaringan/pembuluh dari kambium yang baru sehingga proses translokasi hara dari

batang bawah ke batang atas dan sebaliknya dapat berlangsung kembali.

Agar proses pertautan tersebut dapat berlanjut, sel atau jaringan meristem

antara daerah potongan harus terjadi kontak untuk saling menjalin secara

sempurna. Ashari (1995) mengemukakan bahwa hal ini hanya mungkin jika kedua

jenis tanaman cocok (kompatibel) dan irisan luka rata, serta pengikatan

sambungan tidak terlalu lemah dan tidak terlalu kuat, sehingga tidak terjadi

kerusakan jaringan.

Dalam melakukan grafting atau budding, perlu diperhatikan polaritas

batang atas dan batang bawah. Untuk batang atas bagian dasar entris atau mata

tunas harus disambungkan dengan bagian atas batang bawah. Untuk okulasi

(budding), mata tunas harus menghadap ke atas. Jika posisi ini terbalik,

sambungan tidak akan berhasil baik karena fungsi xylem sebagai pengantar hara

dari tanah meupun floem sebagai pengantar asimilat dari daun akan terbalik

arahnya (Ashari, 1995).

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam penyambungan adalah

kompabilitas. Pengertian kompoabilitas adalah kemampuan dua jenis tanaman

7

yang disambung untuk menjadi satu tanaman baru. Bahan tanaman yang

disambung akan menghasilkan persentase kompabilitas tinggi jika masih dalam

satu spesies atau satu klon, atau bahkan satu famili, tergantung jenis tanaman

masing-masing (Ashari, 1995).

Inkompatibilitas antar jenis tanaman yang disambung dapat dilihat dari

kriteria sebagai berikut menurut Hartmann et al (1997) :

1. Tingkat keberhasilan sambungan rendah

2. Pada tanaman yang sudah berhasil tumbuh, terlihat daunnya menguning,

rontok, dan mati tunas

3. Mati muda, pada bibit sambungan

4. Terdapat perbedaan laju tumbuh antara batang bawah dengan batang atas

5. Terjadinya pertumbuhan berlebihan baik batang atas maupun batang bawah

Pengaruh Batang Bawah Terhadap Batang Atas

Menurut Ashari (1995) pengaruh batang bawah terhadap batang atas

antara lain (1) mengontrol kecepatan tumbuh batang atas dan bentuk tajuknya, (2)

mengontrol pembungaan, jumlah tunas dan hasil batang atas, (3) mengontrol

ukuran buah, kualitas dan kemasakan buah, dan (4) resistensi terhadap hama dan

penyakit tanaman.

Pengaruh batang atas terhadap batang bawah juga sangat nyata. Namun

pada umumnya efek tersebut timbal balik sebagaimana pengaruh batang bawah

terhadap batang atas.

Perbanyakan Batang Bawah

Batang bawah ada yang berasal dari semai generatif dan dari tan vegetatif

(klon). Batang bawah asal biji (semai) lebih menguntungkan dalam jumlah,

umumnya tidak membawa virus dari pohon induknya dan sistem perakarannya

bagus. Kelemahannya yaitu secara genetik tidak seragam. Variasi genetik ini

dapat mempengaruhi penampilan tanaman batang atas setelah ditanam. Oleh

karena itu perlu dilakukan seleksi secermat mungkin terhadap batang bawah asal

biji (Ashari, 1995).

8

Hartmann et al (1997) menyatakan bahwa batang bawah tanaman jeruk

diproduksi dari biji apomiksis dan secara genetik seragam. Metode perbanyakan

batang bawak ini lebih efisien dan hemat.

Metode Penyambungan

Menurut Ashari (1995) terdapat 2 metode penyambungan, yaitu sambung

tunas dan sambung mata tunas.

1. Sambung Tunas/Grafting

Agar persentase jadi dapat memuaskan, ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan

a. Batang atas dan batang bawah harus kompatibel

b. Jaringan kambium kedua tanaman harus bersinggungan

c. Dilakukan saat kedua tanaman berada pada kondisi fisiologis yang tepat

d. Pekerjaan segera dilakukan sesudah entris diambil dari pohon induk

e. Tunas yang tumbuh pada batang bawah (wiwilan) harus dibuang setelah

penyambungan selesai agar tidak menyaingi pertumbuhan tunas batang

atas. Metode yang dikembangkan adalah sambung lidah (tongue grafting),

sambung samping (side grafting), sambung celah (cleft grafting), sambung

susu (approach grafting), dan sambung tunjang (inarching).

2. Sambung Mata Tunas/Okulasi (Budding)

Masalah yang sering timbul dalam pelaksanaan teknik ini menurut Ashari

(1995) adalah sukarnya kulit kayu batang bawah dibuka, terutama pada saat

tanaman dalam kondisi pertumbuhan aktif, yakni pada saat berpupus atau

daun-daunnya belum menua. Hal ini berkaitan dengan kondisi fisiologis

tanaman. Sebaiknya okulasi dilakukan saat tanaman dalam kondisi dorman.

Budding dapat menghasilkan sambungan yang lebih kuat, terutama pada

tahun-tahun pertama daripada metode grafting lain karena mata tunas tidak

mudah bergeser. Budding juga lebih ekonomis menggunakan bahan

perbanyakkan, tiap mata tunas dapat menjadi satu tanaman baru (Hartmann et

al, 1997).

9

Metode budding yang sering digunakan antara lain okulasi sisip (chip

budding), okulasi tempel dan sambung T (T-budding). Pemilihan metode

tergantung pada beberapa pertimbangan, yaitu jenis tanaman, kondisi batang

atas dan batang bawah, ketersediaan bahan, tujuan propagasi, peralatan serta

keahlian pekerja (Ashari, 1995).

10

Perbanyakan Vegetatif dengan Cangkok

Mencangkok merupakan salah satu cara pembiakan vegetatif buatan yang

bertujuan untuk mendapatkan tanaman yang memiliki sifat yang sama dengan

induknya dan cepat menghasilkan. Pencangkokan dilakukan dengan menyayat

dan mengupas kulit sekeliling batang, lebar sayatan tergantung pada jenis tanaman

yang dicangkok. Penyayatan dilakukan sedemikian rupa sehingga lapisan

kambiumnya dapat dihilangkan (dengan cara dikikis). Setelah luka yang dibuat

cukup kering, Rootone-F diberikan sebagai perlakuan agar bahan cangkokan cepat

berakar. Media tumbuh yang digunakan terdiri dari tanah dan kompos dan dibalut

dengan sabut kelapa atau plastik. Bila batang diatas sayatan telah menghasilkan

sistem perakaran yang bagus, batang dapat segera dipotong dan ditanam di lapang.

Menurut Rochiman dan Harjadi (1973), hal yang perlu diperhatikan dalam

melakukan pencangkokan tanaman adalah : (1) waktu mencangkok, sebaiknya

pada musim hujan karena tidak perlu melakukan penyiraman berulang-ulang, (2)

Memilih batang cangkok, pohon induk yang digunakan adalah yang umurnya

tidak terlalu tua atau terlalu muda, kuat, sehat dan subur serta banyak dan baik

buahnya, (3) Pemeliharaan cangkokan, pemeliharaan sudah dianggap cukup bila

media cangkokan cukup lembab sepanjang waktu.

Suatu percobaan dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan Zat

Pengatur Tumbuh (Rootone-F) dan media terhadap cangkokan. Dari Tabel 1

terlihat dilihat bahwa cangkokan dengan perlakuan media tanah dengan

pemberian Rootone-F menyebabkan akar lebih cepat keluar dan jumlahnya lebih

banyak, kondisi yang sama juga dapat dilihat pada media tanah + kompos dengan

Rootone-F. Kondisi sebaliknya terjadi pada kedua media tanpa Rootone-F akar

akan lebih lambat keluar dan jumlahnya sedikit. Hal ini dapat dijelaskan bahwa

Rootone-F merupakan salah satu zat pengatur tumbuh untuk induksi perakaran.

Sedangkan pada media kompos tidak ada pertumbuhan akar pada kedua

perlakuan.

11

Tabel 1. Pengaruh perlakuan Zat Pengatur Tumbuh (Rootone-F) dan media

terhadap cangkokan.

Perlakuan

Media

Dengan Rootone-F Tanpa Rootone-F

Tanah Akar lebih cepat keluar

Jumlah lebih banyak

Akar lebih lambat keluar

Jumlah lebih sedikit

Tanah + kompos Akar lebih cepat keluar

Jumlah lebih banyak

Akar lebih lambat keluar

Jumlah lebih sedikit

Kompos Tidak tumbuh akar Tidak tumbuh akar

12

Daftar Pustaka

Ashari, S. 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. Universitas Indonesia Press.

Jakarta.

Rochiman, K. dan S. S. Harjadi. 1973. Pembiakan Vegetatif. Departemen

Agronomi Fakultas Pertanian IPB. 72 hal.

Hartmann, H.T., D.E. Kester, F.T. Davies, and R. L. Geneve. 1997. Plant

propagation principles and practices. 6th ed. Prentice Hall, Englewood

Cliffs, N.J.

PENGARUH HORMON IBA (Indole Butyric Acid)

TERHADAP PERSEN JADI STEK PUCUK

MERANTI PUTIH (Shorea montigena)

O l e h :

I R W A N T O

JURUSAN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS PATTIMURA

A M B O N

2 0 0 1

ht tp://www.irwantoshut.com/ 2

I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Dalam usaha pemanfaatan sumber daya hutan secara lestari, para pemegang HPH

(Hak Pengusahaan Hutan) dituntut unt uk mengelola hutan dalam wi layah kerjanya dengan

baik dan benar sesuai prosedur yang berlaku. Terlebih lagi dengan diadakannya

Ecolabell ing, yaitu upaya sert ifikasi atas produk hasil hutan dan produk olahannya yang

menyatakan bahwa produk tersebut dihasilkan melalui proses yang ber sahabat dengan

lingkungan (Enviromental Friendly).

Kriteria yang digunakan dalam penilaian untuk Ecolabell ing ber sumber dari "ITTO

Guidelines for Suitainable Forest Management" tahun 1992 yang kemudian dituangkan ke

dalam SK Menhut . Nomor 252/Kpts-II /93 yang dirubah dan ditambah dengan SK Menhut .

Nomor 576/Kpts-II/93. Kriteria-kriteria tersebut meliputi aspek : sumber daya hutan,

kelestarian hasi l, konservasi, sosial ekonomi dan inst itusi.

Di antara kriteria yang ada, aspek kelestarian hasil merupakan salah satu kriteria

yang pent ing. Untuk tercapainya aspek kelestarian hasil ini, indikator-indikator yang perlu

di lihat meliputi sist im silvikultur, sejarah pengelolaan hutan, daur dan pengat uran hasil.

Dari berbagai sist im silvikultur yang ada, Pemerintah terus mencari suatu sist im yang tepat

untuk diterapkan dalam pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia.

Selama ini sistim silvikultur yang dipakai adalah sist im TPTI (Tebang Pi lih Tanam

Indonesia). Dari ist ilah TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) dapat di lihat bahwa

pengambi lan kayu dari hutan dengan cara menebang pohon yang ter seleksi, akan

di imbangi dengan usaha pengem bal iannya melalui kegiatan penanaman.

Dalam kegiatan penanaman pada areal bekas tebangan dan areal non produktif

perlu dipilih jenis dengan memperhitungkan faktor ekonomi dan ekologi. Untuk itu

diusahakan memilih jenis setempat dan yang sesuai dengan daerah ber sangkutan. Salah

satu jenis yang dianggap sesuai dan bernilai komersil adalah jenis dari famili

Dipterocarpaceae. Namun dalam pengadaan bibit untuk jenis-jenis Dipterocarpaceae baik

yang berasal dar i benih (bi ji) maupun anakan alam masih menemui ham batan. Hal ini

disebabkan: Pertama, musim berbunga dan berbuah lebat pada jenis-jenis Dipterocarpaceae

t idak terjadi set iap tahun tetapi bervariasi t iap 4 - 5 tahun, bahkan ada yang 13 tahun baru

berbuah lebat . Kedua, benih (biji untuk bibit) yang dihasilkan t idak dapat disimpan lama

karena teknik penyimpanannya belum dikuasai, sementara itu daya kecambahnya menurun

dengan cepat (Yasman dan Smits, 1988).

ht tp://www.irwantoshut.com/ 3

Sebagai salah satu alternat if dalam usaha pengadaan bibit jenis Dipterocarpaceae

adalah dengan sist im Stek (Cutting System). Dengan sist im ini bibit yang dihasilkan

genot ipnya telah diketahui dan dapat dibuat pada wakt u yang diperlukan. Hal-hal yang

perlu diperhat ikan unt uk keberhasi lan pembiakan vegetat if dengan cara stek, antara lain

umur stek, media, drainase media, intensitas cahaya, teknik penggut ingan dan konsentrasi

hormon yang digunakan (Omon, Mas'ud dan Harbagung, 1989).

Menurut Yasman dan Smits (1988), umur bahan stek sangat menentukan

keberhasilan dar i stek yang dibuat , sehingga bahan dasar pem buatannya perlu diam bil dari

bibit hasi l cabutan atau kebun pangkas yang bersifat juveni l/muda. Hal ini disebabkan

karena, pada jaringan organ yang masih muda banyak mengandung jar ingan meristematik

yang masih mampu melakukan pertumbuhan dan deferensiasi (Dwidjoseputro, 1990).

Dengan demikian bagian yang paling cocok dijadikan stek adalah bagian pucuk. Pucuk

juga merupakan sumber auksin pada tanaman (Kusumo,1984).

Untuk mempercepat perakaran pada stek diperlukan perlakuan khusus yaitu

dengan pem berian hormon dari luar. Proses pemberian hormon harus memperhat ikan

jumlah dan konsentrasinya agar didapatkan sist im perakaran yang baik dalam waktu relatif

singkat. Konsentrasi dan jumlah hormon ini sangat tergant ung pada faktor-faktor sepert i

umur bahan stek, waktu/lamanya pemberian hormon, cara pember ian hormon, jenis

tanaman dan sistim stek yang digunakan (Yasman dan Smits, 1988). Berdasarkan

pengalaman kelompok auksin yang baik untuk perakaran terutama untuk tanaman

kehutanan Dipterocarpaceae adalah dari kelompok IBA (Indole Butyric Acid).

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikem ukakan, maka penul is memandang

perlu mengadakan penelit ian tentang pengaruh penggunaan hormon IBA (Indole Butyric

Acid) terhadap per sen keberhasilan stek pucuk Meranti Put ih (Shorea montigena), salah

satu jenis yang termasuk family Dipterocarpaceae.

2. Tujuan dan Manfaat Penel itian

2.1. Tujuan Penelitian

(1) Mengetahui pengaruh hormon IBA (Indole Butyric Acid) terhadap persen jadi stek

pucuk Merant i Putih (Shorea montigena).

(2) Mendapatkan t ingkat konsentrasi yang optimum hormon IBA (Indole Butyric Acid)

terhadap keberhasilan stek pucuk Meranti Put ih (Shorea montigena).

ht tp://www.irwantoshut.com/ 4

2.2. Manfaat Penelitian

Dengan didapatkan data dan informasi dari penelit ian ini diharapkan:

(1) Bermanfaat untuk pengembangan jenis Dipterocarpaceae terutama untuk jenis Merant i

Putih (Shorea montigena) dengan demikian dapat menyediakan bibit dalam jumlah

yang besar pada wakt u yang tepat.

(2) Dapat dipakai dalam perbanyakan stek pucuk Merant i Putih (Shorea montigena) pada

Kebun Pangkas.

3. Hipotesis

Hipotesis yang dapat dikem ukakan dalam penelit ian ini adalah:

(1) Pemberian hormon IBA (Indole Butyric Acid) pada stek pucuk Merant i Put ih (Shorea

montigena) mempengaruhi t ingkat keberhasilannya.

(2) Tingkat konsentrasi yang opt imum untuk keberhasilan stek pucuk Merant i P utih

(Shorea montigena) adalah 100 ppm (wakt u perendaman 2 jam).

ht tp://www.irwantoshut.com/ 5

II. TINJAUAN PUSTAKA

1. Ekologi Shorea montigena

Meranti Put ih (Shorea montigena) yang termasuk dalam family Dipterocarpaceae

dapat hidup pada iklim musim dan ker ing dengan bulan keringnya 3 sampai 5 bulan

pertahun dan terdapat dibawah ket inggian 800 m dpl (Anonim, 1991).

Jenis Merant i ini memiliki berat jenis yang t inggi dan tenggelam di dalam air.

Shorea montigena pohonnya besar dan berbanir, batangnya merekah atau bersisik.

Pada umumnya pohon Merant i dijumpai di daerah dengan type iklim A dan B, pada

tanah-tanah latosol, podsolik merah kuning dan podsolid kuning. Pohonnya lurus tinggi

dapat mencapai 60 m, dengan batang bebas cabang 45 m, diameter sampai 180 cm, ada

yang berbanir sampai dengan 5 m (Anonim, 1976). Di Maluku kebanyakan kayu ini

tumbuh pada tanah-tanah podsolik, mediteran dan rensina atau pada tanah-tanah dimana

formasi geologinya (bahan induk atau batuan dasar) adalah terumbu koral, sedimen dan

aluvium (Pelupessy, 1982).

2. Sistim Perbanyakan Tanaman dengan Stek

Stek adalah satu cara pembiakan tanaman tanpa melalui proses penyerbukan

(vegetat if), yaitu dengan jalan pemotongan pada batang, cabang, akar muda, pucuk atau

pun daun dan menum buhkannya di dalam suat u media padat maupun cair sebelum

di lakukan penyapihan (Anonim, 1995).

Pengadaan bibit dengan cara stek pada umumnya merupakan suatu cara pembiakan

vegetatif yang pal ing mudah dan murah (Harahap, 1972 dalam Omon et. al., 1989).

Yasman dan Smits (1988), menyebutkan beberapa keunt ungan dari sist im stek antara lain

adalah: Hasilnya homogen, dapat diproduksi dalam jumlah dan pada waktu yang

di inginkan, dapat digunakan untuk menganalisa tempat tumbuh (file side quality), dan

dapat memperbanyak genot ip-genot ip yang baik dari suatu jenis pohon.

Hampir semua bagian tanaman dapat dipakai sebagai stek, tetapi yang sering

dipakai adalah batang muda yang subur. Mudahnya stek berakar tergant ung kepada

spesiesnya. Ada yang mudah sekali berakar cukup dengan medium air saja. Tetapi banyak

pula yang sukar berakar, bahkan t idak berakar walaupun dengan perlakuan khusus.

Kesuburan dan banyaknya akar yang dihasi lkan sangat dipengaruhi oleh asal bahan

ht tp://www.irwantoshut.com/ 6

steknya yaitu bagian tanaman yang dipergunakan, keadaan tanaman yang diambil steknya,

dan keadaan luar waktu pengam bilan (Kusumo, 1980).

Dalam pemilihan bahan dasar stek, diusahakan untuk mengambil bibit yang bersifat

juvenil/muda. Bahan stek yang ber sifat juveni l ini dapat diambi l dari bibit hasil cabutan

yang dipelihara dipersemaian atau dari bibit yang ada di alam yang berumur kurang lebih

satu tahun atau maksimal 5 tahun (Yasman dan Smits, 1988).

Di Wanariset I telah dicoba dengan stek dari Shorea ovalis, Shorea paicif lora,

Shore asmithina, Shorea laevis, Shorea lamellata, Dipterocarpus cornotus, Dipterocarpus

humeratus, Dipterocarpus grasilis, Dipterocarpus tempehes dan Hopea mangarawan dari

pohon tua (diameter t iga puluhan). Dari percobaan tersebut Dipterocarpus tempehes

bereaksi sedikit dengan pem bentukan kallus tapi t idak satupun dari seribu stek yang dicoba

berakar (Yasman dan Smits, 1988).

Untuk dapat mengambil bahan stek secara terus menerus maka dapat dibuat kebun

pangkas (hedge orchad) dimana dari kebun pangkas ini bahan stek dapat diambi l set iap

periode tertentu tergant ung dari kecepatan dan kemampuan dari suat u jenis untuk

membentuk pucuk baru dan waktunya stek diperlukan.

3. Stek Pucuk Dipterocarpaceae

Dwijoseputro (1990) mengemukakan bahwa stek yang akan ditanam harus

mempunyai tunas, agar stek tersebut dapat menghasi lkan akar. Dapat ditarik kesimpulan

bahwa ada sesuatu yang dihasi lkan oleh t unas dan diedarkan ke bagian bawahnya, yait u ke

dasar pemotongan stek tersebut .

Untuk stek pucuk Dipterocarpaceae yang diambi l adalah tunas orthotrop (tunas

vert ikal), bukan yang plagiotrop (tunas kesamping atau cabang) (Yasman dan Smits,

1988). Alasan pemilihan t unas orthotrop menurut Leppe dan Smits (1988) karena stek dari

bahan orthotrop akan selalu tum buh orthotrop dan stek yang berasal dari cabang

plagiotrop hampir selalu tumbuh plagiotrop.

Bibit yang berasal dar i tunas orthotrop pertumbuhan ar sitekturnya sama dengan

pohon asalnya (model arsitektur Dipterocarpaceae). Keunggulan dari bibit Dipterocarpaceae

berdasarkan fenot ipnya dimana yang pokok dini lai adalah pert umbuhan batang lurus,

panjang dan t idak berlobang.

Pengambilan stek pucuk dari t unas orthotrop perlu memperhat ikan dengan seksama

tahap-tahap pertumbuhannya, dimana hampir sem ua jenis Dipterocarpaceae t umbuh secara

ht tp://www.irwantoshut.com/ 7

ritmis. Artinya selama wakt u tertentu t idak terbentuk daun baru, kemudian setelah waktu

ist irahat ini beberapa daun baru m uncul dan terbentuk batang baru yang cukup panjang

pada sumbuh pokok. Selama proses pembentukan daun belum selesai dan daun paling atas

masih belum cukup kuat maka t idak boleh diambil stek dari pucuk/bibit tersebut . Stek

yang diambil dalam keadaan sepert i ini akan m udah layu dan busuk. Jadi sebaiknya bahan

stek diambi l dari pucuk yang dalam keadaan "ist irahat" (Leppe dan Smits, 1988). Tahaptahap

pertumbuhan yang tepat unt uk mengambil stek sepert i pada Gam bar 1 (Leppe dan

Smits, 1988).

a. b. c.

Gambar 1. Tahapan Pertum buhan yang Tepat Unt uk Mengambil Stek :

a. initiation flush b. ful l flushing c. resting

Pengambilan stek pucuk pada bibit , harus tersisa satu atau dua daun pada batang

pokok dimana bahan stek diambi l, supaya reetraisasi (pertunasan) baru dapat terbentuk

lagi, sedangkan pada steknya sendir i harus ada sedikit 2 atau 3 daun yang melekat

(Yasman dan Smits, 1988). Peranan daun pada stek juga cukup besar, karena daun akan

melakukan proses asimilasi dan hasil asimilasi tentu dapat mempercepat pertumbuhan

akar. Tetapi jumlah daun yang terlalu banyak, mempunyai proses transpirasi yang besar

(Wudianto,1993). Cara menggunting pucuk tersebut dapat dil ihat pada Gambar 2 (Yasman

dan Smits, 1988).

a. b. c.

Gambar 2. Cara menggunt ing stek dan tahapannya

a. pucuk orthotrop b. bahan stek c. hasil stek

ht tp://www.irwantoshut.com/ 8

4. Peranan Hormon Dalam Perakaran Stek

Hormon adalah molekul-molekul yang kegiatannya mengatur reaksi-reaksi

metabolik penting. Molekul-molekul tersebut dibentuk di dalam organisme dengan proses

metabolik dan t idak berfungsi didalam nutrisi (Heddy, 1989).

Hormon tanaman dapat diartikan luas, baik yang buatan maupun yang asl i serta

yang mendorong ataupun yang menghambat pertumbuhan ( Overbeek,1950 dalam

Kusumo, 1984). Pada kadar rendah tertentu hormon/zat tumbuh akan mendorong

pertumbuhan, sedangkan pada kadar yang lebih t inggi akan menghambat pertumbuhan,

meracuni, bahkan memat ikan tanaman (Kusumo,1984).

Untuk mempercepat perakaran pada stek diper lukan perlakuan khusus, yaitu

dengan pember ian hormon dari luar. Proses pemberian hormon harus memperhat ikan

jumlah dan konsentrasinya agar didapatkan sist im perakaran yang baik dalam waktu relatif

singkat. Konsentrasi dan jumlahnya sangat tergantung pada faktor-faktor sepert i umur

bahan stek, waktu/lamanya pember ian hormon, cara pemberian, jenis hormon dan sist im

stek yang digunakan (Yasman dan Smits, 1988).

Secara umum macam hormon atau zat pengatur t umbuh dapat dibagi dalam t iga

kelompok pent ing yaitu auksin, sitokinin dan giberalin. Untuk perakaran stek, hormon

yang pal ing menentukan adalah dari kelompok auksin. Hormon ini secara alami sudah

terdapat dalam tanaman akan tetapi untuk lebih mempercepat proses perakaran stek maka

perlu ditambahkan dalam jumlah dan konsentrasi tertentu untuk dapat merangsang

perakaran (Yasman dan Smits, 1988).

Auksin banyak disusun di jaringan meristem di dalam ujung-ujung tanaman sepert i

pucuk, kuncup bunga, tunas daun dan lain-lainnya lagi (Dwidjoseputro, 1990).

Kusumo (1984) menyatakan perakaran yang t imbul pada stek disebabkan oleh

dorongan auksin yang berasal dari tunas dan daun. Tunas yang sehat pada batang adalah

sumber auksin dan merupakan faktor pent ing dalam perakaran.

Jumlah kadar auksin yang terdapat pada organ stek bervariasi. Pada stek yang

memiliki kadar auksin lebih t inggi, lebih mampu menumbuhkan akar dan menghasilkan

persen hidup stek lebih t inggi dar ipada stek yang memiliki kadar yang rendah.

Sebagaimana diketahui bahwa auksin adalah jenis hormon penum buh yang dibuat oleh

tanaman dan berfungsi sebagai katalisator dalam metabolisme dan berperan sebagai

penyebab perpanjangan sel (Alrasyid dan Widiart i, 1990).

ht tp://www.irwantoshut.com/ 9

Ada beberapa macam hormon dari kelompok auksin ini, antara lain adalah IAA

(Indole Acetic Acid), NAA (Napthalen Acetic Acid) dan IBA (Indole Butyric Acid).

Cara pem berian hormon untuk perakaran stek, misalnya dengan pasta lanolin,

bent uk larutan encer, bentuk larutan pekat , pemberian dengan tepung, dan penyemprotan.

Dari cara - cara tersebut , pemberian dengan larutan encer dianggap cara yang paling

efekt if (Kusumo, 1984). Caranya dengan membuat larutan baku hormon memakai alkohol

95 persen, kemudian diencerkan dengan air. Biasanya digunakan kepekatan 0,0005 - 0,01

persen tergantung pada spesies tanaman dan macam hormon yang digunakan kemudian

pangkal stek dengan ukuran 2 cm direndam selama beberapa jam agar hormon dapat

meresap.

Kusumo (1984) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang turut mempengaruhi

keberhasilan pemberian hormon diantaranya adalah:

(a) Kondisi pohon induk sepert i umur, kesuburan dan bagian stek yang diambil.

(b) Faktor dalam sepert i rhizokalin dan zat makanan organik.

5. Manfaat Penggunaan Hormon IBA (Indole Butyric Acid)

Zat-zat lain di luar tubuh tumbuhan ternyata mempunyai pengaruh yang sama

sepert i auksin dan IAA, zat-zat tersebut mempunyai susunan cicin yang mengandung

ikatan rangkap sebagai int i, sedangkan cincin itu terdapat rangkaian yang mempunyai

gugus karbosil. Zat-zat itu ialah Asam indol butirat, Asam a naftalen asetat, Asam b

naftalen asetat, Asam b naftoksiasetat, Asam 2,4 dikloro-fenoksiasetat (Dwidjoseputro,

1990).

Hormon IBA adalah salah satu hormon yang termasuk dalam kelompok auksin.

Selain dipakai untuk merangsang perakaran, hormon IBA juga mempunyai manfaat yang

lain seperti menambah daya kecambah, merangsang perkembangan buah, mencegah

kerontokan, pendorong kegiatan kambium dan lain-lainnya (Kusumo, 1984).

Wudianto (1993) mengemukakan bahwa IBA mempunyai sifat yang lebih baik dan

efekt if daripada IAA dan NAA. Dengan demikian IBA paling cocok unt uk merangsang

aktifitas perakaran, karena kandungan kimianya lebih stabil dan daya kerjanya lebih lama.

IBA yang diberikan kepada stek berada ditempat pemberiannya, tetapi IAA biasanya

mudah menyebar ke bagian lain sehingga menghambat perkembangan pertumbuhan pucuk,

sedangkan NAA mempunyai kisaran ( range) kepekatan yang sempit sehingga batas

kepekatan yang meracuni dari zat ini sangat mendekat i kepekatan opt imum.

ht tp://www.irwantoshut.com/ 10

Dengan semakin cepatnya pembentukan akar dari stek yang diberikan per lakuan

hormon IBA semakin lebih baik sist im perakarannya sehingga air dan unsur-unsur hara

dalam tanah yang diserap stek akan lebih banyak (Siagian,1992).

Stek Khaya anthoteca yang direndam selama 1 - 3 jam dengan konsentrasi larutan

hormon IBA 100 ppm menghasilkan rata-rata per sen tumbuh yang berbeda nyata dengan

persen hidup stek tanpa perlakuan hormon yaitu berkisar antara 85 - 97 persen. Sedangkan

rata-rata persen hidup stek tanpa perlakuan hormon 61,25 persen (Alrasyid dan Widiart i,

1990).

Perlakuan tingkat dosis 400 mg/liter atau 400 ppm (perendaman stek selama 2 jam)

memberikan harga rata-rata per sentase jadi stek Gmelina arborea yang berakar lebih baik

dibandingkan dengan perlakuan tingkat dosis hormon IBA lainnya, sehingga akan tumbuh

lebih baik dan lebih kuat (Siagian, 1992).

Untuk jenis tanaman Shorea polyandra, pernah dilakukan percobaan pembiakan

secara stek melalui sistim water-rooting dengan penggunaan hormon IBA dimana

persentase stek yang berakar tert inggi mencapai 85 persen dan rata-rata jumlah akar

sebesar 6,2 buah t iap stek (Omon dan Smits, 1988 dalam Omon et . al., 1989).

Stek Shorea leprosula yang direndam selama 45 menit dalam Hormon IBA dengan

konsentrasi 1/1000 dan mempergunakan media padat menghasilkan persentase berakar

mencapai 77,1 persen dalam jangka waktu 14 minggu. Begitu juga dengan stek Shorea

polyandra dapat berakar mencapai 90 persen dalam waktu 7 - 8 minggu (Anonim, 1991).

Cangkokan dari Shorea lamellata, Shorea palembanica dan Vatica paucif lora dapat

berhasil mencapai 80-90 per sen jika mempergunakan IBA 0,05 persen (Anonim, 1991).

Berdasarkan penelit ian, penggunaan 0,05 persen hormon IBA bisa meningkatkan

sistim penyambungan tanaman (Wudianto, 1993).

CH-CH2-CH2-COOH

N

H

Gambar 3. Rumus Bangun Hormon [ì - (Indole-3)-butyric-acid] (IBA)

ht tp://www.irwantoshut.com/ 11

III. METODOLOGI PENELITIAN

1. Lokasi dan Waktu

Lokasi penelitian pada areal Kebun Pangkas milik HPH PT. Mangole Timber

Producer s Unit V, Kabupaten Maluku Tengah berlangsung selama 3 bulan ( Nopember

1997 sampai dengan Januari 1998).

2. Bahan dan Alat

2.1. Bahan yang digunakan terdiri dari stek pucuk Merant i Put ih (Shorea montigena)

diambi l dari tunas yang orthotrop pada lokasi Per semaian, Hormon IBA (Indole

Butyric Acid) dengan t ingkat konsentrasi 0 ppm (sebagai kontrol), 50 ppm, 100 ppm,

150 ppm dan 200 ppm, dan media tumbuh (pasir).

2.2. Alat yang digunakan : rumah sungkup, gunt ing pangkas, hands sprayer, pisau, mistar

ukur, gelas ukur, ember plast ik, sendok, t imbangan anal it ik dan alat tulis-menulis.

3. Rancangan Percobaan

Rancangan yang digunakan dalam penelit ian ini adalah Rancangan Acak Lengkap

(RAL) dengan perlakuan 5 tingkat konsentrasi hormon IBA (Indole Butyric Acid) yang

berbeda, dimana masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali dan dalam set iap

ulangan terdiri dari 20 bibit stek pucuk. Adapun model linier yang digunakan sebagai

berikut:

Yij = U + _ j + _ i j, dimana

Yij = nilai-ni lai pengamatan pada ulangan ke i, perlakuan ke j,

U = nilai rata-rata harapan,

_ j = pengaruh perlakuan konsentrasi Hormon IBA ke j, dan

_ ij = galat percobaan.

Tingkat Konsentrasi hormon:

T0 = 0 ppm (kontrol)

T1 = 50 ppm

T2 = 100 ppm

T3 = 150 ppm

T4 = 200 ppm

ht tp://www.irwantoshut.com/ 12

Respon yang diukur untuk melihat pengaruh perlakuan konsentrasi hormon IBA

adalah per sen jadi stek pucuk yang berakar dan diharapkan tumbuh menjadi tanaman yang

sempurna, setelah bibit berumur 3 bulan. Anal isis akan di lanjutkan juga terhadap panjang

akar (cm), jumlah akar (helai), pertambahan t inggi stek pucuk (cm), pertambahan daun

(helai), dan berat kering akar (mg).

Pengolahan data hasil pengamatan per sen jadi stek pucuk yang berakar dinyatakan

dalam persen (%) terlebih dahulu ditransfomasikan ke dalam arcsin _ %, kemudian

digunakan Anal isa Sidik ragam Pola Acak lengkap.

Bi lamana hasil F-hit ung menunjukkan perbedaan yang nyata atau sangat nyata

dengan F-tabel, maka lebih lanjut dilakukan penguj ian terhadap harga rata-rata per lakuan

dengan menggunakan Uji Beda Nyata Jujur (BNJ).

4. Prosedur Penel itian

4.1. Penyediaan rumah sungkup

(a) Pembuatan kerangka rumah sungkup

(b) Pemasangan plast ik transparan

(c) Pembuatan naungan

4.2. Penyediaan media tumbuh

(a) Pasir dicuci kemudian disterilkan dengan cara solar isasi

(b) Pasir di letakkan di dalam bak-bak perakaran sebelumnya diletakkan kerikil pada

dasarnya

4.3. Pengam bilan stek pucuk

(a) Stek pucuk diambil dari tunas orthotrop yang dalam keadaan ist irahat

(b) Pengguntingan daun yang ada dengan meninggalkan 2 - 3 helai daun pada bahan

stek

(c) Pengguntingan 1/2 daun yang ada, untuk mengurangi transpirasi

(d) Stek pucuk direndam di dalam ember yang berisi air agar tidak layu.

4.4. Pembuatan Hormon IBA

(a) Larutan hormon dibuat dengan cara kristal hormon dilarutkan kedalam alkohol 95

persen

(b) Diencerkan dengan aquades sesuai dengan masing-masing konsentrasi yang

dipakai

ht tp://www.irwantoshut.com/ 13

(c) Untuk 50 ppm dibuat dari 12,5 mg dicampur dengan 250 ml air

(d) Untuk 100 ppm dibuat dari 25 mg dicampur dengan 250 ml air

(e) Untuk 150 ppm dibuat dari 37,5 mg dicampur dengan 250 ml air

(f) Untuk 200 ppm dibuat dari 50 mg dicampur dengan 250 ml air

4.5. Pemberian hormon IBA

Stek direndam dalam larutan hormon set inggi 2 cm dari pangkalnya selama 2 jam.

4.6. Penanaman

Stek ditanam pada bak-bak stek dan ditutup rapat agar kelembaban dapat stabi l.

4.7. Pemeliharaan

(a) Untuk mencegah perkembangan Jam ur menggunakan Benlate 1 mg/liter

sedangkan pencegahan hama menggunakan Sevin.

(b) Penyemprotan/penyiraman dilakukan dua kali sehar i, pada pagi dan sore untuk

mempertahankan kelembaban dalam media stek.

4.8. Pelaksanaan pengamatan dan pengukuran.

Pengamatan dilakukan set iap hari sedangkan pengukuran dilakukan pada awal dan

akhir penelitian.

ht tp://www.irwantoshut.com/ 14

0

1 0

2 0

3 0

4 0

5 0

6 0

7 0

8 0

9 0

T 0 T 1 T 2 T 3 T 4

K o n s e n t r a s i I B A

P e rs en Ja d i (% )

IV. HASIL PENELITIAN

1. Persen Jadi

Setelah jangka waktu 3 bulan, persen jadi stek yang berakar mencapai 63,67

persen. Per sen tert inggi dalam setiap ulangan dapat mencapai 90 per sen pada t ingkat

konsentrasi 100 ppm, sedangkan persen jadi terendah adalah 25 persen pada per lakuan

tanpa hormon. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1.

Gambar 4. Grafik Pengaruh Hormon IBA Terhadap Per sen Jadi Stek Pucuk

Shorea montigena

Pada Gambar 4 dapat terlihat graf ik pengaruh perlakuan t ingkat konsentrasi

hormon IBA terhadap persen jadi stek pucuk Merant i put ih (Shorea montigena).

Hasil penguj ian stat istik dari per sen jadi yang terlebih dahulu ditransformasikan ke

dalam arcsin menunjukkan bahwa perlakuan hormon IBA memberikan pengaruh yang

sangat nyata (Lampiran 2).

Tabel 1. Hasi l Uji Beda Persen Jadi Jadi St ek Pucuk Shorea montigena

U l a n g a n (Arcsin)

Hasil Rata-Rata

Persen Jadi

No Konsentrasi

I B A

I II III Arcsin %

1 T0 ( 0 ppm) 36,27 30,00 36,27 34,18 31,67 a

2 T1 ( 50 ppm) 47,87 36,27 42,13 42,09 45,00 a

3 T2 ( 100 ppm) 60,00 71,56 67,21 66,26 83,33 b

4 T3 ( 150 ppm) 63,44 60,00 67,21 63,55 80,00 b

5 T4 ( 200 ppm) 60,00 67,21 60,00 62,40 78,33 b

Keterangan :

Angka-angka dalam kolom diikuti oleh huruf yang berbeda, berbeda nyata pada taraf 0,05.

ht tp://www.irwantoshut.com/ 15

Hasil Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) antara t ingkat konsentrasi hormon IBA pada

Tabel 1, menunjukkan perbedaan yang nyata persen jadi unt uk tingkat konsentrasi 100

ppm, 150 ppm dan 200 ppm bila dibandingkan dengan perlakuan tanpa hormon dan

konsentrasi 50 ppm. Tetapi antara konsentrasi IBA 100 ppm, 150 ppm dan 200 ppm t idak

menunjukkan perbedaan yang nyata.

2. Panjang Akar

Rata-rata panjang akar dalam set iap satuan percobaan berkisar antara 1,29 cm

sampai dengan 5,52 cm, sedangkan total rata-rata adalah 3,30 cm (Lampiran 3).

Hasil pengujian stat ist ik rata-rata panjang akar pada Lampiran 4, menunjukkan

pengaruh yang sangat nyata dari pember ian hormon IBA.

Tabel 2. Hasi l Uji Beda Rata-Rata Panjang Akar (cm)

No Konsentrasi I B A

Hasil Rata-Rata

Panjang Akar

1 T0 ( 0 ppm) 1,35 a

2 T1 ( 50 ppm) 2,70 ab

3 T2 ( 100 ppm) 4,71 c

4 T3 ( 150 ppm) 3,83 bc

5 T4 ( 200 ppm) 3,90 bc

Keterangan :

Angka-angka dalam kolom diikut i oleh huruf yang berbeda, berbeda nyata pada

taraf 0,05.

Pada Tabel 2, dapat dilihat hasil uj i beda rata-rata panjang akar antara t ingkat

konsentrasi IBA, menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara perlakuan

hormon IBA tingkat konsentrasi 100 ppm, 150 ppm dan 200 ppm dengan perlakuan tanpa

hormon. Antara t ingkat konsentrasi 50 ppm dengan 100 ppm juga menunjukkan

perbedaan yang nyata. Tetapi antara tingkat konsentrasi 100 ppm dengan 150 ppm dan 200

ppm t idak menunjukkan perbedaan yang nyata.

3. Jumlah Akar

Pada Lampiran 5, dapat di lihat bahwa rata-rata jumlah akar adalah 2,77 dan ni lai

tertinggi dari set iap sat uan percobaan mencapai 3,60 sedangkan ni lai terendah adalah 2,20.

Hasil pengujian stat ist ik dari rata-rata jumlah akar stek pucuk menunjukkan

pengaruh t idak nyata dari perlakuan hormon IBA terhadap jumlah akar stek pucuk

(Lampiran 6).

ht tp://www.irwantoshut.com/ 16

4. Pertambahan Tinggi

Berdasarkan pengamatan selama 3 bulan, ada beberapa stek yang mengalami

pertambahan tinggi tetapi t idak mempunyai perakaran. Rata-rata pertambahan t inggi stek

yang berakar mencapai 0,47 cm, dan dalam setiap satuan percobaan berkisar antara 0,20

sampai dengan 0,90 cm (Lampiran 7).

Berdasarkan hasi l penguj ian stat ist ik rata-rata pertambahan t inggi stek,

menunjukkan bahwa pemberian hormon IBA t idak berpengaruh terhadap pertambahan

t inggi stek pucuk (Lampiran 8).

5. Pertambahan Daun

Rata-rata pertambahan daun pada stek yang berakar adalah 0,24 buah. Dalam

set iap satuan percobaan dapat dil ihat ada pertambahan daun, dan ada juga yang t idak

bertambah (Lampiran 9). Hal ini menunjukkan bahwa ada stek yang tidak mengalami

pertambahan daun tetapi telah mempunyai perakaran dan sebaliknya ada stek yang

memiliki pertambahan daun tetapi t idak mempunyai perakaran.

Hasil penguj ian stat ist ik menunjukkan bahwa t idak ada pengaruh nyata antara

pemberian hormon IBA terhadap pertambahan daun stek (lihat Lampiran 10).

6. Berat Kering Akar

Pada Lampiran 11, dapat dil ihat rata-rata berat ker ing akar dapat mencapai 4,61 mg

dan untuk set iap satuan percobaan berkisar antara 1,10 mg sampai dengan 13,00 mg.

Hasil pengujian stat ist ik rata-rata berat kering akar menunjukkan pengaruh yang

sangat nyata dari pem-berian hormon IBA. Hal tersebut disaj ikan dengan jelas pada

Lampiran 12.

Tabel 3. Hasi l Uji Beda Rata-Rata Berat Kering Akar (mg).

No Konsentrasi I B A

Hasil Rata-Rata

Berat Kering Akar

1 T0 ( 0 ppm) 1,57 a

2 T1 ( 50 ppm) 2,53 a

3 T2 ( 100 ppm) 9,13 b

4 T3 ( 150 ppm) 5,03 ab

5 T4 ( 200 ppm) 4,80 ab

Keterangan :

Angka-angka dalam kolom diikut i oleh huruf yang berbeda, berbeda nyata

pada taraf 0,05.

ht tp://www.irwantoshut.com/ 17

Hasil uj i beda berat kering akar menunjukkan perbedaan yang nyata antara t ingkat

konsentrasi IBA 100 ppm dengan perlakuan tanpa hormon dan berbeda juga dengan

t ingkat konsentrasi 50 ppm. Tetapi antara perlakuan tanpa hormon dengan t ingkat

konsentrasi 50 ppm, 150 ppm dan 200 ppm tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.

Antara 100 ppm, 150 ppm dan 200 ppm juga t idak menunjukkan perbedaan. Untuk

selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.

Dalam penelit ian didapat i kondisi akar pada t ingkat konsentrasi 100 ppm

diameternya lebih besar dan sudah terdapat akar-akar lateral (akar sekunder dan tert ier).

ht tp://www.irwantoshut.com/ 18

V. PEMBAHASAN

1. Persen Jadi

Berdasarkan hasi l penelit ian dan analisis pengujian stat ist ik ternyata per lakuan

hormon IBA pada stek pucuk Merant i Put ih (Shorea montigena) efekt if untuk meningkatkan

persen jadi stek yang berakar. Pada t ingkat konsentrasi 100 ppm, stek yang berakar

dapat mencapai 83,33 per sen. Ini berarti hormon IBA berpengaruh positif dalam

merangsang perakaran stek pucuk Merant i Put ih (Shorea montigena), sehingga proses

perakaran menjadi lebih cepat dan mantap. Dengan perakaran yang mantap stek dapat

menyerap unsur hara dan air untuk mempertahankan kondisinya agar t idak menjadi layu

dan mat i.

Hal ini sesuai dengan pendapat Dwidjoseputro (1990); Wudianto (1993); Kusumo

(1984); Yasman dan Smits (1988), yang mengemukakan bahwa manfaat dari hormon

sangat tergantung dar i dosis yang diber ikan, jika dosisnya tepat akan sangat membantu

dan didapatkan sist im perakaran yang baik dalam waktu relat if singkat . Pada t ingkat

konsentrasi 50 ppm, hormon IBA kurang mempengaruhi pert umbuhan perakaran stek.

Konsentrasi 50 ppm diduga terlalu rendah sehingga kurang dapat merangsang proses

perakaran stek. Alrasyid dan Widiart i (1990) mendapatkan hasi l yang sama dari per lakuan

t ingkat konsentrasi hormon IBA 50 ppm terhadap stek Khaya anthoteca.

Hormon IBA pada t ingkat konsentrasi 100 ppm, 150 ppm dan 200 ppm t idak

menunjukkan perbedaan yang nyata pada persen jadi stek yang berakar, karena hormon

IBA mempunyai kisaran (range) yang luas (Kusumo, 1984; Wudianto, 1993). Penelit ian

Danu dan Tampubolon (1993) juga menunjukkan t idak adanya perbedaan yang nyata

pada persentase stek yang berakar pada Stek Gmelina arborea Linn dengan

mempergunakan Hormon IBA 100 ppm, 200 ppm, 300 ppm dan 500 ppm.

Walaupun demikian secara visual dapat terlihat penurunan persentase stek berakar

pada konsentrasi 150 ppm dan 200 ppm, sehingga diduga bila konsentrasi hormon IBA

terus dit ingkatkan akan terjadi penurunan yang nyata. Penelit ian Alrasyid dan Widiart i

(1990) menunjukkan penurunan per sen jadi stek Khaya anthoteca pada t ingkat konsentrasi

200 ppm dan 300 ppm bila dibandingkan dengan tingkat konsentrasi 100 ppm. Aminah,

Dick, Leakey, Grace dan Smith (1994) mendapatkan hasil yang sama pada stek Shorea

leprosula yang diberi konsentrasi IBA 40, 60 dan 80 ìg yaitu penurunan per sen

keberhasilan bi la dibandingkan dengan konsentrasi 20 ìg. Hal ini disebabkan pengaruh

ht tp://www.irwantoshut.com/ 19

hormon pada kadar yang lebih tinggi akan menghambat pert umbuhan, meracuni, bahkan

mematikan tanaman (Kusumo, 1984; Yasman dan Smits, 1988).

Selain pengaruh hormon, ada juga faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi

keberhasilan perakaran stek :

(1) Asal bahan stek

(a) Spesies

Proses perakaran pada stek tergant ung dari spesies. Ada spesies yang mudah berakar

cukup dengan air saja. Tetapi banyak pula yang susah berakar walaupun dengan

perlakuan yang khusus (Kusumo,1984). Shorea montigena merupakan tanaman yang

lambat proses perakarannya bi la dibandingkan dengan Shorea polyandra yang dalam

jangka waktu 7 - 8 minggu dapat berakar mencapai 90 persen dengan memakai media

perakaran dan hormon yang sama (Anonim, 1991).

(b) Kondisi tanaman saat pengambilan stek

Kesehatan tanaman sebagai pohon induk asal stek turut mempengaruhi keberhasilan

stek. Stek yang terinfeksi jamur/penyakit bisa menular pada semua stek yang ada.

Selain itu satu jenis penyakit yang dapat menggagalkan perakaran stek adalah

defisiensi nitrogen. Kekurangan Nitrogen dapat dil ihat dari daun yang berwarna

kekuning-kuningan (Wudianto,1993). Dengan kandungan nitrogen yang sangat kurang,

akan sulit terbentuk akar. Dalam penelit ian daun yang berwarna kekuning-kuningan

akan gugur dan proses perakaran terhambat .

(c) Situasi lingkungan waktu pengambi lan

Pengambilan stek dilakukan pada kelembaban udara yang tinggi agar proses transpirasi

dari tanaman tidak terlalu besar.

(2) Kondisi media perakaran

(a) Kelembaban

Kelembaban di dalam media stek harus tinggi dan dipertahankan mendekat i 90 persen,

agar t idak terjadi transpirasi yang besar pada stek. Menurut Mahlstede dan Haber

(1962) dalam Danu (1994), kelembaban yang opt imum untuk perakaran stek sekitar

90 persen pada saat terbentuk perakaran dan 75 per sen ket ika stek mempunyai

akar yang masih lemah. Untuk menjaga kelembaban dalam penelit ian ini

penyemprotan / penyiraman dilakukan dua kali sehari dan bila hari panas lebih dari dua

kali.

ht tp://www.irwantoshut.com/ 20

(b) Persediaan Oksigen (aerase)

Penggunaan pasir dalam penel it ian sebagai media perakaran cukup menunjang proses

perakaran. Menurut Yasman dan Smits (1984) Aerase dan tekstur lebih mempengaruhi

proses perakaran bi la dibandingkan dengan Sifat kimianya seperti keasaman dl l.

Oksigen yang cukup mempercepat proses perakaran.

(c) Cahaya yang terpancar rata dan suhu optimum yang tetap (Kusumo, 1984)

Kondisi rumah sungkup dengan suhu pada siang hari mencapai 35°C dan malam hari

24° C, diduga kurang menunjang proses perakaran karena mempunyai flukt uasi yang

besar. Danu dan Tampubolon (1993) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa

kondisi rumah tumbuh hasil manipulasi dengan suhu 22°C-35°C kurang cocok unt uk

pertumbuhan stek Gmelina arborea Linn. Suhu yang t inggi dan terlalu rendah dapat

mengakibatkan kematian stek sebelum terbentuk perakaran.

(d) Bebas dari jamur/penyakit

Media stek harus disetrilkan dari jamur yang merugikan. Sebelum stek ditanam media

disetrilkan dengan cara solarisasi dan unt uk menghambat perkembangan jamur setelah

penanaman digunakan fungisida (Benlate/Benomil). Jamur/penyakit yang menyerang

stek akan mengakibatkan terhambatnya proses perakaran dan stek menjadi busuk.

Faktor-faktor yang diduga menyebabkan rendahnya persen jadi stek yang berakar

pada perlakuan tanpa hormon dan t ingkat konsentrasi 50 ppm adalah :

(1) Kadar auksin yang rendah

Kadar auksin pada masing-masing stek bervariasi. Untuk stek yang mempunyai kadar

auksin yang cukup tinggi akan mampu menghasilkan akar (Alrasyid dan Widiart i,

1990). Pada akhir penelit ian, dapat ditemukan ada stek yang masih dalam keadaan

segar dan t idak terserang jamur/penyakit namun t idak mempunyai perakaraan. Ini

menunjukkan bahwa kadar auksin di dalam stek tersebut sangat rendah.

(2) Stek kering/mat i

Tidak adanya keseimbangan di dalam stek antara proses transpirasi dengan

penyerapan unsur hara dan air, karena proses perakaran yang lambat. Sepert i

diketahui bahwa stek pucuk adalah bagian tanaman yang m uda sehingga mempunyai

proses transpirasi yang besar dan stek mudah kehilangan air dan menjadi

kering/mat i.

ht tp://www.irwantoshut.com/ 21

(3) Terserang jamur/penyakit

Dengan pemberian hormon pembentukan kallus akan semakin cepat untuk menut upi

bagian luka bekas gunt ingan dar i stek (Wudianto, 1993). Stek yang t idak diberi

hormon dapat terserang jamur /penyakit dengan mudah pada luka bekas gunt ingan.

Dalam prosesnya hormon yang diberikan pada stek bekerja sama dengan subtansi

lain di dalam stek. Subtansi ini adalah rhizokalin dan zat makanan organik (Kusumo,

1984). Rhizokalin bergerak dan terkonsentrasi pada bagian pangkal stek yang diberikan

hormon.

Peranan daun dalam proses perakaran juga pent ing karena daun berfungsi sebagai

sumber bahan makanan, rhizokalin, auksin dan tempat terjadinya proses fotosintesis. Dari

pengamatan yang dilakukan, stek yang mengugurkan daun, t idak memiliki perakaran

walaupun masih dalam keadaan segar.

2. Panjang Akar dan Jumlah Akar

Hormon IBA memberikan pengaruh yang positif terhadap perpanjangan akar stek

pucuk. St ek yang diber i perlakuan hormon IBA mempunyai rata-rata akar yang lebih

panjang bila dibandingkan dengan per lakuan tanpa hormon. Diduga karena pengaruh

hormon IBA, energi yang ada di dalam stek digunakan untuk tahap perpanjangan akar.

Kusumo (1984) mengemukakan bahwa IBA biasanya menghasilkan sedikit akar yang

cepat menjadi panjang dan membentuk akar serabut yang kuat .

Dalam penel it ian menunjukkan t idak adanya pengaruh dari pemberian hormon IBA

terhadap jumlah akar yang dihasilkan stek pucuk . Hal ini diduga karena hormon IBA

dalam prosesnya menghasilkan sedikit akar dan juga energi di dalam stek dipergunakan

untuk perpanjangan akar sehingga pertambahan akar t idak terlihat dengan jelas. Danu dan

Tampubolon (1993) menemukan hal yang sama pada stek Gmelina arborea Linn yang

diberikan perlakuan hormon IBA, dimana pemberian hormon IBA tidak mempengaruhi

perbedaan jumlah akar yang dihasi lkan.

Dalam perkembangan akar, rhizokalin adalah salah satu subtansi yang diproduksi

selama perpanjangan akar utama dan t urut berperan didalamnya (Kusumo,1984).

Penggunt ingan stek yang t idak tepat pada tempatnya akan menghambat proses

perakaran, sehingga penggunt ingan harus di lakukan pada nodum atau sedikit dibawah

nodum karena hormon tum buh banyak terdapat pada nodus-nodus tersebut (Yasman dan

smits, 1984)

ht tp://www.irwantoshut.com/ 22

Dengan rata-rata panjang akar sebesar 3,30 cm maka stek pucuk Merant i P utih

(Shorea montigena) dalam umur tiga bulan sudah dapat dilakukan penyapihan dan

inokulasi tetapi masih diperlukan naungan plastik agar kelembaban tetap terjaga. Menurut

Yasman dan Smits (1984), Penyapihan dilakukan apabila stek sudah mempunyai panjang

akar sekurang-kurangnya 2,5 cm

3. Pertambahan Tinggi dan Daun

Pemberian hormon IBA pada stek pucuk Merant i Put ih (Shorea montigena) t idak

memberikan pengaruh pada pertambahan t inggi dan pertambahan daun. Hal ini disebabkan

hormon IBA mempunyai mobilitas yang rendah bila dibandingkan dengan hormon IAA.

Hormon IBA yang diberikan t idak menyebar ke bagian lain, tetap pada tempat yang

diberikan sehingga t idak mempengaruhi pertumbuhan bagian lain dari tanaman (Kusumo,

1984; Wudianto, 1988).

Hal serupa juga dilaporkan oleh para penelit i sebelumnya:

(1) Kapisa dan Sapulete (1994), mengemukakan pemberian hormon IBA t idak

berpengaruh pada pertambahan daun dari stek pucuk Anisoptera megistocarpa.

(2) Danu (1994), menyatakan hormon IBA yang diber ikan pada Stek Batang Sungkai

(Peronema canescens JACK) tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan

tunas.

(3) Alrasyid dan Widiarti (1990), menemukan hal yang sama pada Stek Khaya anthoteca

yang diberi perlakuan hormon IBA, ternyata t idak mempengaruhi perkembangan tunas

atau jumlah daun yang ada pada stek tersebut .

Faktor-faktor yang diduga lebih mempengaruhi pertambahan tinggi dan daun pada

stek, diantaranya adalah :

(1) Suhu yang optimum

Walaupun belum ada sistim perakaran pada suhu opt imum auksin dapat diproduksi

dan mengalami pertumbuhan pucuk (Alrasyid dan Widiart i, 1990; Danu, 1994).

(2) Kandungan karbohidrat /zat makanan

Stek yang mempunyai kandungan karbohidrat /zat makanan yang t inggi dapat

mengalami pertambahan tinggi dan daun walaupun belum terbentuk sist im perakaran

(Iriantono, 1990; Danu,1993).

ht tp://www.irwantoshut.com/ 23

(3) Pengambilan stek pada masa ist irahat

Stek yang diambil pada masa ist irahatnya relat if t idak sama. Ada stek yang pucuknya

baru mengalami masa ist irahat dan ada pula yang telah siap untuk mengadakan

pertumbuhan kembali. Sehingga untuk stek yang masa ist irahatnya telah berakhir akan

segera mengalami pertambahan t inggi dan daun.

4. Berat Kering akar

Pengaruh Hormon IBA terhadap berat kering akar terlihat jelas pada t ingkat

konsentrasi 100 ppm. Akar pada t ingkat konsentrasi 100 ppm diameternya relat if besar

dan sudah mempunyai akar-akar lateral (akar sekunder dan tert ier) yang berbentuk akar

serabut.

Konsentrasi hormon IBA 100 ppm sangat efektif untuk mempercepat proses

perakaran sehingga stek mempunyai perakaran yang mantap dalam wakt u singkat.

Danu dan Tampubolon (1993) mendapatkan pengaruh yang positif terhadap berat

kering akar yang dihasilkan stek Gmelina arborea Linn yang diberi perlakuan hormon

IBA.

Proses perakaran dari stek untuk t ingkat konsentrasi yang lain dan perlakuan tanpa

hormon diduga akan menjadi lebih mantap bila waktu proses perakaran diperpanjang.

Kusumo (1984) mengemukakan bahwa hormon hanya menambah atau mendorong

perakaran bukan menggant ikan pengalaman dan teknik. Ini berart i bahwa hormon bukan

satu- satunya faktor pembatas dalam proses perakaran stek.

Dari uraian di atas telah diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi proses

pembentukan akar. Namun selain faktor-faktor tersebut , vitamin juga ikut berperan dalam

pembentukan akar-akar lateral. Torrey (1956) dalam Thimann (1986), menyatakan bahwa

dalam bagian-bagian akar, vitamin turut meningkatkan pembentukan akar lateral. Vitamin

terdapat pada konsentrasi yang t inggi dalam daun muda dan jaringan merismat ik (Heddy,

1989).

ht tp://www.irwantoshut.com/ 24

VI. KES IMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

(1) Pemberian hormon IBA dengan tingkat konsentrasi 100 ppm meningkatkan persen jadi

stek pucuk Merant i Put ih (Shorea montigena), dimana rata-rata per sen jadi stek yang

berakar mencapai 83,33 per sen.

(2) Pada tingkat konsentrasi 100 ppm perlakuan hormon IBA menghasilkan akar yang

lebih panjang tetapi t idak meningkatkan jumlah akar dari stek pucuk.

(3) Pemberian hormon IBA t idak meningkatkan pertambahan t inggi dan daun pada stek

pucuk Meranti Put ih (Shorea montigena), karena IBA mempunyai mobil itas yang kecil

dan tetap pada tempat yang diberikan.

(4) Pada t ingkat konsentrasi hormon IBA 100 ppm stek mempunyai berat kering akar yang

lebih besar dan telah mempunyai akar-akar lateral.

2. Saran

(1) Perlu penelit ian lebih lanjut dengan memakai berbagai media perakaran stek dan

lamanya waktu perendaman stek, agar didapatkan hasil yang maksimal.

(2) Penggunaan hormon IBA dengan konsentrasi 100 ppm efektif dalam usaha

meningkatkan keberhasilan perbanyakan stek pucuk Merant i Putih (Shorea montigena)

pada Kebun Pangkas.

ht tp://www.irwantoshut.com/ 25

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, A, 1993. Pemilihan Bahan Stek dan Media Tum buh unt uk Pembiakan Vegetatif

Acasia mangium. Duta Rimba No.155-156 / XIX . Perum Perhutani. Jakarta.

------,1994. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh IBA terhadap per sen tum buh stek Gmelina

(Gmelina arborea Roxb). Duta Rim ba No.173-174/XX . Perum Perhutani.

Jakarta. P.15-21

Alrasyid, H dan A. Widiart i,1990. Pengaruh Penggunaan Hormon IBA terhadap persentase

hidup stek Khaya anthoteca. Bulet in Penel itian Hutan No.523. P usat Penel it ian

dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. P.1-22

Aminah, H, J.Mcp.Dick, R.R.B. Leakey, J.Grace, and R.I. Smith, 1994. Effect of Indole

Butyric Acid (IBA) on Stem cutt ings of Shorea leprosula. Forest Ecology and

Management . Pusat Dokumentasi dan Informasi Manggala Wanabakti. Jakarta.

P.199-206.

Anonimous, 1991. Vademikum Dipterocarpaceae. Balai Penelitian dan Pengem bangan

Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.

--------------, 1995, Sist im Stek Dipterocarpaceae, Kehutanan Indonesia No. 6 Tahun

1994/1995, Departemen Kehutanan, Jakarta. P.18

Danu, 1993, Pengaruh Bahan Stek dan Zat Pengatur Tumbuh Terhadap Pertumbuhan Stek

Sungkai (Peronema canescens JACK) Balai Penel itian dan Pengembangan

Kehutanan. Balai Teknologi Perbenihan. Departemen Kehutanan. Bogor.

------, 1994. Pengaruh Tempat Tumbuh dan Perlakuan Zat Pengat ur Tumbuh IBA

Terhadap Pert umbuhan St ek Sungkai ( Peronema canescens JACK ).Balai

Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Balai Teknologi Perbenihan.

Departemen Kehutanan. Bogor.

Danu dan J. Tampubolon, 1993. Pengaruh Jumlah Mata Ruas Stek dan Konsentrasi IBA

Terhadap Pertumbuhan Stek Batang Gmelina arborea LINN. Balai Penel it ian

dan Pengem bangan Kehutanan. Balai Teknologi Perbenihan. Departemen

Kehutanan. Bogor.

Dwidjoseputro, D, 1990. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. PT. Gramedia. Jakarta.

Heddy,S,1986. Hormon Tumbuhan. Penerbit CV. Rajawali. Jakarta.

Kapisa,N dan E. Sapulete, 1994. Percobaan Stek Pucuk Anisoptera megistocarpa. Buletin

Penelitian Kehutanan. Pematang Siantar. P. 247-255.

Kusumo,S,1984. Zat Pengatur Tum buh Tanaman. Penerbit CV. Yasaguna. Jakarta.

Leppe,D dan W.T.M .Smits, 1988. Metode Pembuatan dan pemeliharaan Kebun Pangkas

Dipterocarpaceae. Balai Penelit ian Kehutanan. Samarinda.

ht tp://www.irwantoshut.com/ 26

Omon,R.M, A.F. Mas'ud, dan Harbagung, 1989. Pengaruh Media Padat dan Rootone-F

terhadap Pertumbuhan akar Stek Batang Shorea cf. polyandra. Buletin

Penelitian Kehutanan Vol.5 No.3. Balai Penelit ian Kehutanan Pematang

Siantar. P.195-202.

Pelupessy, L, 1982, Pengaruh Media Tanah dan Intensitas Penyiraman terhadap Tumbuhan

semai Meranti Merah (Shorea selanica B1) di Rumah Kaca. Thesis. Tidak

dipublikasikan. Fakultas Pertanian Jurusan Kehu- tanan. Univer sitas Pat t imura.

Ambon.

Poernama,B.M.1994, Sertifikasi Kayu dan Produk Olahan. Duta Rimba No.167-168 / XX.

Perum Perhutani. Jakarta. P.4-11.

Seipalla,I,1981, Konsep-Konsep Stat ika dalam Penelitian, Fakultas Pertanian/Kehutanan,

Universitas Pat t imura, Ambon.

Siagian,Y.T,1992. Pengaruh Hormon Indole 3-Butyric Acid (IBA) terhadap persentase jadi

stek batang Gm elina arborea LINN. Buletin Penel it ian Hutan No.546. Pusat

Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. P.55-60.

Steel,R.G.D dan J.H.Torrie, 1989. Prinsip dan Prosedur Stat ist ika (terjemahan). PT.

Gramedia. Jakarta.

Sudiono. J,1994. Ecolabeling Hasil Hutan. Duta Rimba No.167-168 / XIX .Perum

Perhutani. Jakarta. P.2-3.

Thimann, K. V, 1989. Auxsin. Fisiologi Tanaman (Terjemah-an). PT. Bina Aksara.

Jakarta. P. 1-52.

Wudianto,R, 1993. Membuat Setek, cangkok dan Okulasi. Penerbit PT. Penebar Swadaya.

Jakarta.

Tidak ada komentar: